SUKU TORAJA
Alasan mengapa saya memilih
suku toraja sebagai bahan dari Tugas Mata Kuliah SoftSkill karena suku ini
merupakan suku terunik yang pernah saya temui walaupun tidak melihat secara
langsung tapi ulasan dan penjelasannya tentang orang-orang didalamnya sangat
menarik perhatian saya. Berikut adalah gambaran mengenai suku toraja.
Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal
suku Toraja.Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan
politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka
mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal)
karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada
akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama
di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme
sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi
penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial
Belanda.Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan
disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi
dari kerajaan Luwu yang
mengklaim wilayah tersebut.Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja
status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu
kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku
Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar
lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan
untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian,
usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit
orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah
ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat
membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang
beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia,
Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang
dilancarkan Darul Islam, yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang
Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik,Hindu dan Buddha.Kepercayaan asli Toraja (aluk)
tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut.
Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima
sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To
Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
Keluarga
Sebuah perkampungan suku
Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap
desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama
yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu
ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara
timbal balik, dalam
artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan
bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan
sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah
kabupaten Tana Toraja,
masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu,
ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri,
beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan
bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui
darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis
ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut
tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga
menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan
menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk,
piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat
dengan kelas sosial. Ada tiga
tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakandihapuskan pada tahun 1909 oleh
pemerintah Hindia Belanda). Kelas
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan
dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan
berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan,
yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di
dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh
menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam
keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status
seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga.
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya
dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak
umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka
tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau
emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka.
Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi
menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi),Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa
kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun
dalam upacara pemakaman,
disebut to minaa (seorang pendeta aluk).Aluk bukan
hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada
para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan
menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual
kematian.Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini,
tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkongan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan
kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata
"tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku
Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut
cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.
Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan
layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan
anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan
atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran Kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel
melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki
nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel
persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan
agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul
dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan
bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga
menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil
yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja
(lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan
geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam
penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari
dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap
struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri.Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen
geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja
|
|||
pa'tedong
(kerbau) |
pa'barre
allo
(matahari) |
pa're'po'
sanguba
(menari) |
ne'limbongan
(perancang legendaris) |
Upacara
Pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang
diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawanyang berhak menggelar pesta
pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah
padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai
tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan
dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa
kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka
semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai
kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang
sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai
di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau
dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para
tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di
makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur
di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak
digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama
setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari
kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan
tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi
ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. TarianMa'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada
ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari
selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan
untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku
Toraja sedang menumbuk beras
Ada beberapa
tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh
pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh
perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika
pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.
Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada
tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok
pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja
juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang
dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen
dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasaAustronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang
terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah
adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi
terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan
bahan makanan pendukungnya adalah singkong danjagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan
suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk
upacara pengorbanan dan sebagai makanan.Satu-satunya industri pertanian di
Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambanganMultinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di
perusahaan asing. Mereka pergi keKalimantan untuk kayu dan minyak,
ke Papua untuk menambang, dan ke
kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada
tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan
dengan bekerja dihotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi
Indonesia pada
akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan
pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat
asal dari kopi Indonesia. Kopi
Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi
berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat.
Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972,
sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari
Sangalla, bangsawan tertinggi
di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa
tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar
12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak
museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja",
seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian
Pariwisata Indonesia menyatakan
Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai
"perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat
meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang
mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah
pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun
1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel
dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru
pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan
yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat
dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah
tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau
lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa
bahwatongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan
sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu
dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat
Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku
Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata)
terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat
pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa
pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja
dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang
oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan
tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987
desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata"
menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung
beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa
pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah
ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang),
dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra
masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki
tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang
seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan
anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup
lalu menikahi perempuan bangsawan.
Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam
sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan
sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa
toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki
empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk
menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar)
- Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas
tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam
daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang
sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
Terimakasih ,sekian :)
SUMBER :
Gambar : Google
Referensi
§
Adams,
Kathleen M. (2006). Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism
and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii
Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
§
Bigalke,
Terance (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People.
Singapore: KITLV Press. ISBN 9971-69-318-6.
§
Kis-Jovak,
J.I.; Nooy-Palm, H.; Schefold, R. and Schulz-Dornburg, U. (1988). Banua
Toraja : changing patterns in architecture and symbolism among the Sa’dan
Toraja, Sulawesi, Indonesia. Amsterdam: Royal Tropical Institute. ISBN 90-6832-207-9.
§
Nooy-Palm,
Hetty (1988). The Sa'dan-Toraja: A Study of Their Social Life and
Religion. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-2274-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar